Bawa Tudung, Leak Bergelayut di Kaki

Mangku Jro Kukuh

Rangda dan barong di pura ini sering keluar ke desa-deas tanpa ada yang nyalukin. Kemudian diprelina dan dibuatkan hanya simbolisnya saja, dimana barong berupa trisula. Sedangkan rangdanya berupa tudung. Tudung sakral yang tidak sembarang orang bisa menyungsungnya.

Rahasia kehidupan memang penuh teka teki, tidak dapat ditebak sebab apapun bisa terjadi di dunia ini. Ketika waktu yang telah ditentukan-Nya tiba, saat itulah manusia akan tercengan, terkadang tidak bisa menerima apa yang terjadi. Namun itulah garis kehidupan yang harus dijalani. Seperti yang dialami Mangku Jro Kukuh, menjadi seorang pemangku bahkan tapakan tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Semuanya mengalir dan terjadi begitu saja seolah dituntun alam niskala.

“Sebelumnya bapak tiang yang menjadi tapakan Pura Dalem Purwa Kubon Tingguh. Tiang dumun bekerja sebagi buruh bangunan dan jarang berada di rumah. Setiap hari yang saya pikirkan bagaimana supaya bisa membiayai anak-anak. Sama sekali tidak bercita-cita untuk menjadi tapakan,” tandas pemangku dari Jro Kukuh Bakisan ini.

Namun Tuhan berkata lain, setelah bapaknya meninggal barulah berbagai cobaan dialaminya. Belum genap satu tahun ditinggal bapaknya, ia masih menjadi kelihan adat Bakisan. Sesuatu yang tidak masuk diakal terjadi, dan itulah yang mengawali hingga ia menemukan jalan untuk mawinten dan mengabdi sebagai pemangku.

“Saat itu ada ngayah adat di Bakisan, waktunya makan siangpun tiba. Tiang sampaikan pada warga untuk makan. Kebetulan istri tiang juga ikut di sana. Iapun ikut makan dan mengambil ingka, namun tidak masuk diakal. Sebab ketika ia mengambil nasi dan ditaruh pada ingka yang dipegangnya dengan tangan kiri, ia merasa bebannya sangat berat dan tangannya pun patah,” kenang Mangku Jro Kukuh.

Dari kejadian itu Mangku Jro Kukuh berusaha bagaimana mengobati dan membuat tangan istrinya kembali seperti semula. Berbagia pengobatanpun dijalani demi mencapai kesembuhan. Mulai dari berobat ke dokter hingga ke balian namun hasilnya nol. Sempat dia ingin dioperasi oleh dokter namun ketika saat dioperasi tiba, dokter tidak berani mengoperasinya. Begitu juga dengan pengobatan lainnya tidak ada yang berhasil. Merenungi semuanya ia akhirnya mengundurkan diri sebagai kelihan adat dan menjadi pemangku. Selain karena taksu pemangku telah melekat di keluarganya, rasa ingin melestarikan peninggalan orang tuanya yang dulu adalah seorang tapakanpun muncul.

Setelah menjadi pemangku dalam perjalanannya iapun mengalami banyak cobaan hingga menjadi seorang tapakan Pura Dalem Purwa Kubon Tingguh.

Ada yadnya melakukan pemugaran Pura Dalem Kubon Tingguh. Benda-benda yang ada di gedong semuanya sangat disakralkan. Saat itu ada petunjuk niskala hingga tidak ada satupun pemangku yang berani mengambil benda yang ada di gedong tersebut. Tiang belum tahu apa-apa kemudian tiang yang disuruh mengambil.” ungkapnya. Dalam perasaan bimbang iapun berusaha mencari jawaban langkah apa yang harus ia ambil. Ia bertanya pada orang-orang yang dianggapnya sebagai guru dan mencari jawaban dengan melakukan renungan ke pura-pura.

Sangatlah sulit karena nyata-nyata ia melihat orang yang pernah mengambil benda pada gedong itu wajahnya biru tidak sadarkan diri. “Jika tiang yang mengambil apakah tidak akan seperti itu. Jangan-jangan hanya mengantarkan nyawa saya pada yang di atas,” ungkapnya. Akhirnya ia mendapat jawaban dan dituntun oleh seseorang bagaimana caranya mengambil. Iapun berani mengambil benda itu, dan merasakan aura magisnya sangat tinggi dan tidak terjadi apa-apa dengannya.

Acara terus berlanjut dan saat pemugaran telah selesai dan dilanjutkan dengan upacara mlaspas. Di sinilah ada dua benda yang disakralkan yaitu tudung dan tri sula. Karena sebelumnya Mangku Jro Kukuh mampu memindahkan benda sakral tersebut, kemudian ia diserahkan untuk membawa tudung sakral tersebut. Mapurwa daksina berlangsung penuh kegaiban. “Setiap tiang mencapai pojok neriti (kelod kauh), pasti sokasi yang tiang suun berbunyi seperti ketukan. Sehingga saat itu orang-orang yang menyaksikan upacara ini, yang mengetahui hal tersebut bahkan orang-orang yang menggunakan pangiwa mengincar tiang terutama nak luh. Mereka berebut dan berjejalan di kaki tiang,” jelas Mangku Jro Kukuh.

Dalam menjalankan tugas tersebut ia melihat bahwa saat mapurwa daksina berlangsung dan ia berjalan mengelilingi pelinggih dengan membawa tudung itu banyak wanita yang belajar pangiwa bergelayut di kakinya. Namun entah kenapa tidak ada rasa takut sedikitpun. Melihat kejadian itu ia menyadari bahwa tudung sakral yang ia bawa adalah durga.