Jro Ketut Renteb


“Tak Kuasa Menolak Titah Ida Sasuhunan”

Ketika seseorang berusaha mengelak tugas suci yang diberikan karena berbagai alasan, tak jarang orang tersebut harus siap menghadapi berbagai kemungkinan dan resiko. Mulai dari masalah keluarga, ekonomi, bahkan tak sedikit mereka yang sengaja berani menolak titah sasuhunannya, berakhir dengan kematian. Bagaimana kisah selengkapnya? Inilah hasil wawancaranya.

Demikian sekilas awal kisah perjalanan Jro Mangku Ketut Renteb, gara-gara menolak ngiring, dirinya harus siap menanggung resiko sekala dan niskala. Bahkan harta bendanya lenyap dalam waktu sekejap.

Selengkapnya, setelah Tim Pemburu Niskala TBA mengendus keberadaan salah satu balian, langsung mendatangi rumahnya. Di rumah berukuran sedang dan sederhana, nampak pria paruh baya sibuk dengan aktivitasnya. Mengetahui tim TBA menghampiri, dengan logat bicaranya yang khas Jro Mangku menyambut dengan penuh persahabatan. Raut wajahnya yang polos serta tutur bahasanya yang santun, sehingga sangat enak ketika diajak ngobrol.

Menemukan lokasi rumahnya tidak terlalu sulit. Dari jalan jurusan Sigaraja-Denpasar, jika krama datang dari arah Denpasar, akan menemukan Pura Yeh Ketipat. Dari pura ini lurus ke utara masuk melalui jalan kecil dengan kondisi cukup bagus. Dari pertigaan Jl. Jurusan Denpasar-Singaraja tersebut, rumahnya berjarak kurang lebih berjarak 500 meter. Dari rumahnya krama bisa melihat indahnya pemandangan Kota Singaraja. Suhu udaranya yang begitu sejuk, mampu mengurangi rasa lelah setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan.

Saat itu nampak beberapa orang, duduk-duduk santai datang dengan berbagai tujuan. Kemudian setelah selesai melayani krama tersebut, dengan senyumnya yang khas menyambut kedatangan TBA. Jro Mangku rupanya tidak asing lagi ketika TBA memperkenalkan diri. Pasalnya, salah satu anaknya, ternyata adalah salah satu pembaca setia Bali Aga. Hal itu membuat tim Bali Aga tidak kesulitan mengorek keterangan terkait kisah perjalanannya hingga menekuni profesi sekarang.

Dengan gaya bahasanya yang khas, Jro Mangku mengawali ceritanya. “Tiang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Hal ini tiang lakukan, selain melanjutkan profesi almarhum ayah, juga karena tak mampu mengelak bahkan menolak tugas suci yang dibebankan. Di samping itu tiang tidak kuat menanggung beban cukup berat, karena tidak mau ngiring,” ungkap pria berkacamata ini dengan nada datar.

Sebelum ngiring, seakan tiada hari tanpa masalah dan musibah. Sehingga dirinya tak kuasa menolak titah sasuhunan dan memutuskan ngiring dengan segala kemampuan dan kekurangannya. Sejak itu hidupnya mulai madegdegan (kembali normal) dan bisa merasakan ketenangan. “Dulu di benak tiang hanya bisnis, bisnis, dan bisnis dan tidak pernah terlintas bahkan bercita-cita menjalani profesi sekarang,” ujar Jro Mangku menegaskan.

Jro Mangku Ketut Renteb yang asal Desa Ambengan dan kini tinggal di Banjar Yeh Ketipat, Desa Wanagiri, Kecamatan Sukasada, Buleleng ini lebih lanjut mengatakan, dirinya pernah bekerja di Dinas Kesehatan Buleleng dan juga seorang saudagar kopi cukup sukses.

Dirinya juga merupakan salah satu dari sekian tokoh pendiri Desa Adat Wanagiri. Jro Mangku yang dikenal ramah ini, sempat dipercaya memangku jabatan Kadus selama dua periode.

Lebih lanjut Jro Renteb menceritakan, kesuksesannya itu tidak bertahan lama. Karena suatu alasan, Jro Mangku memutuskan pindah ke tanah kelahirannya di Desa Ambengan. Namun, tak lama berselang Jro Mangku didera berbagai masalah berat, mulai mengalami berbagai kecelakaan tanpa sebab, menderita penyakit aneh, seperti bingung, menangis selama tiga hari, dan penyakit lainnya, bahkan pernah ditipu hingga menderita kerugian ratusan juta.

Tiang sadar jika Beliau telah berkehendak, tak ada kata tak mungkin. Semua yang ada di dunia ini sifatnya semu, sewaktu-waktu bisa lenyap termasuk harta benda, jabatan, dan lainnya,” jelas pria yang ngiring sejak tahun 1975 silam ini mengingatkan. Untuk itu hendaknya dalam mencari harta selalu didasari dharma dan kebenaran.

Setelah pihak keluarga menanyakan ke orang pintar, diketahui jika mau keluar dari permasalahan tersebut dirinya harus bersedia ngiring. Tak memiliki pilihan, akhirnya Jro Mangku memutuskan ngiring. Sejak itu pula, perubahan demi perubahan terus dirasakan terutama terhadap ketenangan dan kedamaian diri maupun keluarganya.

Awalnya, Jro Mangku pesimis mampu memikul tugas suci tersebut. Sebab Jro Mangku sadar tidak memiliki keahlian/kemampuan dalam hal itu. Namun, semua itu sirna dengan sendirinya ketika berbagai keahlian muncul dan sering mendapat tuntunan dari sasuhunannya. Berbagai jenis paica terus berdatangan, baik berupa keris, batu berbagai jenis, permata, bok memedi, dan paica jenis lainnya.Andiawan